Inspiring Story
Home > Berita > Inspiring Story > Johan Wahyudi, Sang Legenda “Turun Gunung” di Ajang Audisi
23 Juli 2017
Johan Wahyudi, Sang Legenda “Turun Gunung” di Ajang Audisi
 
 

Dekade 1970-an, Indonesia memiliki ganda terbaik dunia bernama Johanes Wahyudi dengan pasangannya Tjun Tjun. Pasangan ini jarang sekali dapat dikalahkan pasangan manapun di era kejayaannya. Mereka berhasil menjuarai All England hingga enam kali, juara dunia, juara Asia dan medali emas Asian Games.

Johanes Wahyudi atau yang lebih akrab dipanggil Johan Wahyudi atau Johan ini, lahir tanggal 10 Februari 1953 di Malang, Jawa Timur. Ia mulai bermain bulutangkis sejak umur 4 tahun. Johan dididik oleh ayahnya sendiri, Mangku Prayitno yang juga merupakan atlet bulutangkis di Jawa Timur.

Ketika menginjak bangku Sekolah Dasar (SD), Johan seringkali diajak ayahnya bertanding ke berbagai desa. Ketika berumur 13 tahun, ia berlatih di klub Gajah Putih Malang, lalu berlanjut dengan latihan di klub Rajawali Surabaya pada hari sabtu dan minggu. Ia pulang pergi ke kota Surabaya diakhir pekan untuk berlatih di klub tersebut, yang banyak menghasilkan pemain dunia seperti Rudy Hartono (juara All England 8 kali).

Setelah lulus SMA tahun 1971, barulah Johan menetap dan berlatih penuh di klub Rajawali. Ia sempat menjadi juara kedua Wahono Cup yang merupakan kejuaraan bergengsi level nasional saat itu. Ia berpasangan dengan Ganda Wijaya, kalah dari pasangan Christian Hadinata/Herman. Prestasi itulah yang membuatnya dipanggil ikut training centre (TC) atau yang sekarang lebih dikenal dengan Pelatnas, tahun 1972.

Di Pelatnas, pasangan legendaris Johan Wahyudi/Tjun Tjun pun terbentuk. Berawal dari akan diselenggarakannya Invitasi Dunia 1972 di Jakarta hanya diikuti 32 peserta terbaik dunia berdasarkan undangan. Saat itu skuat yang ditunjuk untuk ganda Indonesia adalah juara All England Christian Hadinata/Ade Chandra dan Rudy Hartono/Tjun Tjun. Lalu kemudian Rudy Hartono meminta agar dirinya fokus untuk bermain di tunggal. Ditunjuklah Johan sebagai pengganti Rudy sebagai pasangan Tjun Tjun.

Hasilnya sangat mengejutkan, Johan/Tjun Tjun berhasil menjadi juara setelah mengalahkan pasangan terkuat yang juga juara All England 1972, Christian Hadinata/Ade Chandra. Mulailah pasangan ini mendapat kepercayaan di berbagai ajang internasional. Dia arena All England, mereka mulai ikut serta tahun 1973, namun kalah di final dari Christian/Ade. Barulah tahun 1974, mereka meraih gelar juara dan mempertahankannya tahun 1975. Setelah gagal di tahun 1976, mereka kembali juara tahun 1977, 1978, 1979 dan 1980.

Terdapat cerita menarik ketika tahun setelah mereka juara 1978. Johan dan Tjun Tjun ditanya wartawan mengenai karir dan kehidupannya di bulutangkis. Keduanya mengatakan bahwa kehidupan di bulutangkis itu sulit, ingin nikah tapi rumah saja tidak punya. Ungkapan hati mereka ditulis di halaman depan surat kabar nasional hingga mereka “diadili” oleh para pejabat di bidang olahraga. Kemudian, mereka ditantang untuk meraih gelar kelima, maka akan diberikan bonus sebidang tanah oleh pengusaha William Soerjadjaja. Janji ini membuat mereka sangat bersemangat saat tampil di All England berikutnya.

Johan dan Tjun Tjun sempat berharap menjadi juara All England tujuh kali. Sayang, di tahun 1981, mereka kalah di final dari juniornya Kartono/Rudy Heryanto. Di penghujung karirnya Johan dan Tjun Tjun mengalami kekecewaan yang sulit diungkapkan ke publik hingga akhirnya mengakhiri masa di Pelatnas tahun 1982. Kekecewaan tersebut membuatnya keduanya jarang berkecimpung di perbulutangkisan Indonesia.

Johan sendiri memilih karir sebagai pengusaha. Ia sempat diminta menjadi manajer tim Indonesia di AllEngland 1986 dengan membawa para pemain muda seperti Ardy Wiranata, Alan Budi Kusuma, Fung Permadi, dan para pemain lainnya. Dengan membawa para pemain yang belum terkenal saat itu, Johan menerapkan disiplin ketat agar meraih prestasi. Di luar dugaan, salah seorang pemain berhasil mencapai babak semifinal.

Setelah bertahun-tahun kurang mendapat perhatian dari pemerintah sebagai legenda bulutangkis, Johan akhirnya memperoleh penghargaan tahun 2013. Di saat peringatan Hari Olahraga Nasional (Haornas) di Yogyakarta, ia memperoleh hadiah rumah dari pemerintah. Johan sempat menangis karena prestasinya sewaktu muda, akhirnya mendapat penghargaan dari pemerintah.

Kini di usia pensiun, sang legenda kembali “turun gunung” untuk bergabung dengan tim pencari bakat PB Djarum dalam kegiatan Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis. Melalui ajang ini, ia berharap dapat memberikan kontribusinya kepada negara dengan menemukan cikal bakal pemain andalan Indonesia di masa mendatang. (HK)